Sabtu, 11 Februari 2012

Julia, Sekaleng Kopi dan Rindu

Kumasukkan dua keping koin dua dollar-an ke lubang yang tersedia untuk koin di vending machine. Kutekan angka 3 untuk iced coffee, dalam hitungan detik sekaleng minuman kudapat. Belum lagi aku berlalu, suara lembut yang kukenal terdengar menyapaku, "morning Sangkan". Sewaktu kumenoleh, kudapati wajah ceria Julia, gadis berperawakan jangkung itu. Rambut pirangnya diikat ekor kuda dengan sisa-sisa rambut yang tak terikat melambai-lambai dimainkan angin di pagi yang hangat. Matanya membulat melihat kopi kalengan di tanganku, "gee..iced coffee in the morning ?..you must be desperate..you didn't have enough sleep last night ha?" katanya ceriwis. Melihatku hanya mengangkat bahu tanpa ragu digandengnya lenganku, "oh, come on we have to come earlier this time, Mark will not let us attend his course if we're late today". Setengah menyeretku ia berjalan menuju ruang kuliah. Susah payah kulepaskan lenganku yang digandengnya, beberapa kawan yang berpapasan dengan kami melempar senyum penuh arti. Aku pasti terlihat seperti anak nakal yang diseret paksa ibunya memasuki ruang kelas di hari pertama sekolah, namun Julia sepertinya tak peduli, selalu begitu sejak kali pertama aku mengenalnya, dia selalu penuh semangat saat bertemu denganku, menarik tanganku kesana kemari bahkan tidak satu dua kali hampir saja dia mendaratkan ciuman di pipiku saat bertemu, kalau saja aku tak gesit menghindar, ciuman itu takkan terelakan.

Julia yang antusias, kadang membuatku jengah dan mati gaya saat berada didekatnya. Spontanitasnya seringkali membuatku risih. Sebagai orang yang masih peduli pada budaya ketimuran dan berusaha keras berpegang pada nilai-nilai agama yang kupercayai, menghadapi tata cara pergaulan disini membuatku lebih berhati-hati. Sulit untuk tidak menghindar saat harus berjabat tangan dengan perempuan, misalnya. Dilain waktu aku harus selalu siap dengan beragam alasan saat harus menolak tawaran minum minuman beralkohol atau makanan yang tidak dapat kumakan karena alasan adanya larangan berdasarkan kepercayaanku. Orang-orang disini sangat peduli pada alasan yang masuk akal. Mereka akan banyak bertanya mengapa hal-hal tertentu sangatlah kuhindari. Tadinya aku merasa berbagai tantangan berdiskusi  akan lebih sering membuatku kerepotan. Ternyata aku salah, justru spontanitas perilaku seperti yang ditunjukkan Julia lah yang lebih membuatku sengsara.

Julia cuma tersenyum saja setiap kali aku menegurnya karena kebiasaannya menggandeng tanganku atau  kebiasaannya yang lain, menungguku di ruang musholla saat menjalankan sholat dhuhur atau ashar di kampus, masalahnya ia kerap menungguku di ruang sholat khusus untuk lelaki, bukan di ruang khusus wanita. Saat kutegur, ia tenang-tenang saja, alasannya, kalau ia menunggu di ruang lain, ia tak akan tahu kapan aku selesai melaksanakan ibadahku. Minta ampun sulitnya memberitahu Julia hal-hal semacam itu.


Diluar "keantikan" nya, berteman dengan Julia sesungguhnya menyenangkan.  Ia tipikal perempuan cerdas yang punya karakter. Bukan cuma cantik secara fisik, dikepalanya penuh dengan ide-ide cemerlang seputar bidang yang ia geluti, minatnya terhadap seni menarik perhatianku, sikapnya luwes saat berhadapan dengan hal-hal baru yang belum ia ketahui dan ia selalu peduli pada orang lain dengan cara positif, penuh perhatian dan tampaknya selalu suka menawarkan bantuan, apapun itu. Rasanya sah-sah saja jika aku merasa dia menaruh perhatian khusus padaku, tapi kok rasanya berlebihan juga. Apa yang dilihatnya dari mahasiswa imigran yang harus setengah mati pontang panting belajar sekedar untuk lulus dan musti banting tulang untuk bertahan hidup di negeri orang . Mestinya dia cuma jatuh kasihan atau merasa wajib mendukung teman dengan nasib kurang beruntung dibanding teman lainnya sesama penduduk asli negeri kanguru. 

---
"Cold beer?" Julia mengangsurkan sekaleng bir dingin kearahku. Spontan aku menggeleng, "no thanks" . Kulihat kerut di dahinya,bibirnya mngerucut seperti biasa saat dia mulai memikirkan sesuatu, "i don't think beer will kill you, Sangkan, why don't you try a little bit..Kris, Jana don't mind to try it, they're also Asian, you know" dia mengajukan argumen kali ini, sambil menunjuk ke arah dua temanku disudut lain ruang rekreasi, Kris dan Jana sedang menghisap rokok dan menikmati bir kalengan mereka sambil mengobrol, kali ini Julia berkeras mungkin karena bosan pada penolakanku yang menurutnya sering tanpa alasan selain jawaban pendek, tidak, terima kasih.
Untuk kesekian kalinya kukatakan, "ya, but i’m totally alcohol free"
"So, iced coffee ha? your drink.." lanjutnya sambil meneguk bir dari kalengnya dan menyerahkn sekaleng kopi dingin padaku. "I just wonder, why don't you wanna try this product, it’s legal" suaranya nyaris menyerupai gerundelan tak jelas. 
Jawabanku tampaknya akan jadi diskusi panjang. Aku sendiri tak keberatan menjelaskan, tapi aku tak yakin Julia mau mendengarkan jawaban panjang semacam itu. Perempuan satu ini terkenal praktis, dan sering tanpa tedeng aling-aling, selalu siap sedia dengan argumen yang mematikan jika tidak setuju pada sesuatau hal, khas Australian. "You're moslem, too much law to be obeyed" katanya sambil mengangkat bahu. Aku tertawa kecil, "then why you care , ha?", "I don't know, but it's you , i think because it's you" sahutnya, mata birunya memandangiku lekat-lekat, jemari lentiknya kurasa hampir membelai pipiku, kalau saja aku tak bergeser membuat jarak dengannya, selalu saja ia membuatku jengah.

---

"Can you stay for a while" Julia memohon padaku, manja. Sudah pukul setengah dua belas malam, dan niatku tadi hanya mengantarnya sampai di depan apartemennya saja, sekedar memastikan dia pulang dengan selamat. Aku menggeleng tegas, kulihat matanya memaksa. Aku menunjuk Kris yang menunggu dalam mobil. "He can go home by himself" Julia berkata sedikit merajuk. "Ya, and you already home and save, nothing become my business anymore young lady" kupaksakan tersenyum, meski ingin rasanya segera berlalu dari sana.
 "See you tomorrow, Julia" kulambaikan tangan mengucap selamat malam dan berlalu tanpa menoleh lagi. Seperti inilah godaan, aku menyukainya, tapi tak ingin terjebak menikmatinya.
---
"What's wrong with you, Julia is pretty hot, doesn't she" Allan, mahasiswa senior asal New Zealand, yang juga salah satu mentorku dan seringkali terlibat dalam diskusi-diskusi akademik bersamaku dan Julia menyindirku suatu kali. "You're not gay are you" nada suaranya penuh canda, tapi kulihat matanya menyelidik. Aku cuma tertawa, yang benar saja. "She wants you, you know, or you just too fool to see the sign" sambarnya, kali ini terdengar tulus, opini seorang teman. Aku tak ingin salah berkomentar. Rasanya tak etis membicarakan Julia saat dia tak ada, sekalipun percakapan ini memang obrolan wajar khusus kaum lelaki. Paling tidak aku jadi mengetahui begitu kira-kira pendapat orang lain saat melihatku dan Julia. Aku kelihatan sebagai lelaki "polos atau bisa juga sebagai orang yang jual mahal namun dari semua, dugaan aku sebagai gay lah yang paling mengganggu.

---

Sindrom warga minoritas, ketika saat kau hanya ingin tetap setia pada keyakinanmu, selalu saja ada yang membuatmu berpikir ulang, apakah dengan setia pada apa yang kaupercayai tidak akan menghambat laju hidupmu, kesempatanmu berkembang dan potensi kehilangan kesempatan yang lebih besar.
  
Seringkali ini menjadi dilema dan menghantarmu menjadi pribadi yang sama sekali berbeda dengan dirimu sebenarnya. Dengan dalih ingin berbaur, ingin diterima, toleransi dan seabrek alasan lainnya, sering "terpaksa" diri mengorbankan nilai-nilai yang seharusnya dijaga. Aku cuma manusia, sedikit saja lengah aku bisa berubah. Aku cuma tak ingin itu terjadi di saat-saat ini. Di saat aku sedang berjuang mewujudkan harapan dan cita-cita yang telah kupupuk sekian lama. Apa jadinya jika hanya karena budaya rela kugadaikan keyakinan dan harga diri? Pulang memenangka gelar duniawi tapi nurani terkikis dan mati suri. Astaghfirullah, semoga tak terjadi.


Suara adzan dari laptop membuyarkan lamunanku, maghrib datang, penuh sesak rasa di dadaku . Rasanya siap kutumpahkan semua dalam sujud panjang diatas sajadahku, sendiri. Wujud ragaku memang hanya sendiri tapi tidak dengan jiwaku. Jiwaku tak pernah sendiri, ia selalu berkawan, berkawan Dia yang selalu dekat, Dia yang pencemburu, Dia yang jauh lebih perhatian padaku melebihi seribu Julia. Dia yang selalu membuatku jatuh merindu lagi, dan lagi  karena aku percaya Dia tak kan pernah lengah menjagaku.

Adelaide , 11 Februari 2012
Selepas maghrib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar