Kamis, 29 Maret 2012

DEMO


“Besok ikut mangkal di stadion nggak Mas?” suara parau Dulgani memecah keheningan senja  hari di halaman rumah Saidi. Sedari tadi hanya terdengar suara gemericik air dari kran yang sengaja dibuka Saidi untuk mengisi ember plastik merah besar berisi buah-buahan segar yang akan dicucinya sebagai bahan baku berjualan rujak esok hari. Dulgani, tetangga sebelah, sesama penghuni rumah bedeng di tengah kampung Rawa Bebek adalah sesama pedagang keliling. Lelaki setengah baya asal Karawang itu memilih menjadi penjual es campur dan es doger keliling di daerah Bekasi sejak lima tahun lalu. Sementara Saidi sendiri, kelahiran Wonosobo namun sudah tujuh belas tahun hijrah ke Bekasi  dan berjualan rujak dan buah potong menggunakan gerobak yang ia dorong berkeliling dari kampung ke kampung.
Sambil mengeringkan bengkuang dan mentimun dengan kain lap, Saidi menunggu Dulgani kembali bersuara. “Udah tahu belum besok teh bakalan ada demo gede-gedean di stadion Bekasi” Dulgani mengabarkan. Saidi menggeleng, “Belum dengar saya, memangnya demo apa? Bukannya yang suka ada demo tuh di kawasan industri?” sahutnya. “Eeeehh, bukan buruh pabrik aja atuh yang bisa demo, masyarakat lain juga bisa, demonya buat semua katanya, denger-denger mah mau pada protes kenaikan harga bensin” Dulgani menjawab dengan nada menggurui. Saidi cuma melongo mendengar jawaban Dulgani barusan. Kenapa juga harga bensin sampai harus di demo oleh masyarakat. Apa semua masyarakat itu membeli bensin?.
Saidi mengingat dirinya sendiri yang sejak lahir sampai setua sekarang belum pernah membeli bensin dengan alasan apapun untuk di pakainya sendiri. Istrinya mungkin pernah ke pompa bensin, tapi itu untuk membeli minyak tanah untuk memasak. Sebab ada waktunya minyak tanah menghilang dari warung-warung dan pasar tradisional, sehingga Sainah, istri Saidi mesti mengantri di pompa bensin untuk mendapatkan seliter atau dua liter minyak tanah dengan harga yang sedikit lebih mahal dari biasanya. Tapi itu pun sudah lumayan, karena ketika dijual di warung pun, harga minyak tanah waktu itu bukan main mahalnya. Sainah yang setiap pagi berjualan nasi uduk dan gorengan di halaman rumah tentu saja berkepentingan dengan keberadaan minyak tanah. Harga mahal terpaksa di bayar daripada harus kehilangan banyak pelanggan yang terlanjur menyukai nasi uduk buatannya. Tapi sekali lagi itu dulu, Saidi hampir lupa tahun berapa, yang jelas beberapa tahun yang lalu. Sekarang antri mengantri di pom bensin tak pernah lagi mereka lakukan karena Sainah sudah beralih menggunakan kompor  yang berbahan bakar gas. Kompor satu tungku dan tabung gas kecil warna hijau muda didapatnya pertama kali dari ketua RT beberapa tahun lalu, dan hingga kini masih setia digunakannya untuk memasak.
Saidi ingin membuka mulut untuk bertanya, tapi diurungkannya karena Dulgani keburu melanjutkan “ tadi siang saya ketemu Pak RT mas Saidi, katanya besok kita harus ikutan demo itu. Tahu tidak kalau harga bensin keburu naik, bakalan susah rakyat kecil seperti kita. Harga bahan makanan bakalan naik dan ongkos angkot jadi mahal. Jadi kita bakalan susah kemana-mana.” Begitu rupanya, Saidi membatin. Seingatnya, setiap menjelang puasa, atau lebaran atau hari natal harga bahan pokok di pasar selalu naik, dan kalaupun semua hari raya itu sudah lewat, tetap saja harga bahan makanan itu tak kembali turun seperti semula. Toh, masyarakat tetap berbelanja di pasar, malahan berbelanja lebih banyak dengan alasan butuh lebih banyak makanan di hari raya. Mereka tidak protes apalagi demo. Soal ongkos angkot, Saidi lebih tidak paham, maklum kemana-mana ia lebih suka berjalan kaki, atau paling banter menggenjot sepeda kumbangnya berboncengan dengan istri. Saidi jadi teringat cerita Sainah dulu ketika masih sering bolak balik ke pompa bensin, kata Sainah, di pompa bensin, yang mengantri bukan cuma pembeli minyak tanah seperti dirinya, tetapi juga banyak mobil-mobil bagus yang berkilat-kilat catnya mengantri membeli bensin. Ada juga angkot, tapi lebih banyak mobil-mobil pribadi yang mengantri membeli bensin yang sama dengan angkot. Saidi berpikir, jika harga bensin naik mestinya pemilik mobil-mobil bagus itu yang harus protes dan berdemo. Toh mereka yang rutin membeli bensin lebih banyak daripada supir angkot atau masyarakat kecil macam dirinya. Tapi kalau dipikir-pikir,  orang yang sudah mampu membeli mobil-mobil bagus, seharusnya mereka juga mampu membeli bensin dengan harga yang lebih mahal. Ah, mending kalau harga bensin jadi mahal, pikir Saidi, biar orang-orang kaya nggak keenakan terus bisa membeli bensin banyak dengan harga sekelas supir angkot. Lebih mending lagi kalau dari hasil menjual bensin dengan harga mahal itu, pemerintah berbaik hati membagikan uangnya buat rakyat kecil seperti yang pernah diterimanya dulu, walaupun harus mengantri berjam-jam di kelurahan. Kalau ada acara bagi-bagi uang begitu, Saidi dengan suka cita mengamini kenaikan harga bensin.
“Kang Dulgani ikut demo atau berjualan besok di stadion?” akhirnya Saidi bertanya penuh rasa ingin tahu. Dulgani terdiam sesaat, seperti sedang menimbang-nimbang sebelum akhirnya menjawab, “Saya mau ikut demo saja kayaknya, sekali-kali, kepingin tahu seperti apa rasanya. Lagipula, kata Pak RT, ada yang bakalan bagi-bagi kaos gratis, ngasih nasi bungkus, dan banyak wartawan dari koran, dan kamera TV. Siapa tahu saya bisa masuk TV pas sedang demo, lumayan biar orang di kampung saya bisa lihat” Dulgani tersenyum-senyum sendiri membayangkan dirinya yang bakalan muncul di televisi. Saidi menggeleng-gelengkan kepala melihat tetangganya yang sedang menghayal menjadi bintang televisi. Informasi soal pembagian kaos dan nasi bungkus belum terlalu dimengertinya. Maklumlah, walaupun usianya sudah hampir enam puluh tahun, Saidi belum pernah sekalipun turun berdemo. Kalau ikut kampanye partai politik ia pernah. Itupun niat awalnya ia hanya ingin berjualan di lokasi tempat sebuah partai politik mengumpulkan pendukungnya. Ternyata tanpa disangka-sangka, ia ikut memperoleh sebuah kaos gratis, selembar ikat kepala dan selembar poster bergambarkan lambang partai tersebut. Belum lagi, ada hiburan menarik berupa penampilan artis penyanyi dangdut yang terkenal. Lumayan sekali, rejeki memang tak kemana, dagangan habis, dapat bonus pula. Saidi jadi sumringah mengingat pengalaman itu. Soal demo, Saidi hanya pernah melihatnya di televisi atau membacanya dari koran yang sesekali dipinjamnya dari salah seorang tetangganya yang lain yang kerjanya menjual koran pagi dan petang. Saidi berpikir, jika bakalan ada pembagian kaos dan nasi bungkus gratis, berarti yang menyumbang mungkin adalah salah satu partai politik. Selama ini Saidi hanya tahu bahwa demo sama saja dengan aksi kerusuhan, sebab yang digambarkan di koran-koran atau televisi pastilah tentang pemblokiran jalan umum, acara berjalan kaki menuju gedung pemerintah, kemacetan panjang terjadi dimana-mana, pembacaan pidato yang berapi-api dari pemimpin demo yang biasanya disambut teriakan setuju dan tepuk tangan pengikutnya, apapun isi pidatonya, paham atau tidak paham. Tak jarang diberitakan demo yang berakhir dengan bentrokan antara masyarakat pendemo dan aparat kepolisian serta diakhiri dengan kerusuhan dan pengrusakan fasilitas umum. Membayangkan demo serupa itu, Saidi sungguh tak berselera ikut serta. Tinimbang berdemo yang ujung-ujungnya menguntungkan pemakai bensin yang sudah kadhung kaya, Saidi berpikir lebih baik ia menyimpan tenaga untuk menghidupi diri dan istrinya. Rugi juga sudah serak-serak berteriak, capek-capek ikut rombongan berkonvoi, dan mengganggu ketertiban umum pula, jatuhnya ia tetap tidak paham apa yang mesti dibela dan buat keuntungan siapa.
“Jadi bagaimana Mas Saidi, ikut saya besok?” suara Dulgani mengusik pikiran Saidi. Sambil menyusun buah-buahan dalam gerobaknya, Saidi menyahut, “Saya pikir-pikir dulu lah Kang, saya nggak bakat ikut-ikutan demo”. Dulgani terkekeh, “demo saja lho, nggak perlu bakat-bakatan segala, atau besok saya mintakan kaosnya dulu buat sampean, supaya semangat” Dulgani sedikit membujuk, rupanya ia gigih juga mencari teman untuk turun ke jalan. Saidi tersenyum sopan, “ nggak usah repot Kang, kalau sudah rejeki saya, nggak usah minta juga bakalan dapat” sahutnya. Dulgani mengangguk-anggukan kepalanya, “Sampean ini memang nrimo orangnya, nggak suka maksa. Ya sudah, semoga rejeki sampean bagus besok ya Mas, siapa tahu kita besok ketemu disana, itu juga kalau Mas Saidi kepingin mampir dan melihat demo dari dekat”. Saidi mengamini doa Dulgani dalam hati.
---
   Selepas Isya, Saidi bercerita pada tentang Sainah obrolannya dengan Dulgani soal demo kenaikan bensin esok hari. Istrinya mendengarkan dengan seksama, “Jadi, Bapak mau ke tempat demo itu?” tanyanya. Saidi tidak langsung menjawab. Dalam pikirannya ia menghitung-hitung, berapa kira-kira jumlah orang yang akan berkumpul di stadion Bekasi. Jika melihat contoh demo serupa yang ditayangkan di televisi, kemungkinan akan banyak jumlahnya. Hmmm, berarti, mungkin ia memang harus kesana. Bukan untuk ikut-ikutan berdemo. Sungguh ia tak begitu peduli jika harga bensin bakalan naik lagi. Sejak dulu, ia tetap menjadi bagian dari masyarakat kecil, yang mesti membanting tulang untuk bertahan hidup. Hitung-hitungan macam apapun nyaris tidak membawa pengaruh apapun baginya dan keluarganya. Saidi cuma percaya, bahwa Gusti Alloh akan memberi rejeki pada hambaNya yang keras berusaha. Terbukti, dengan harga bensin berapapun, selama ia mendorong gerobaknya berkeliling kampung, ia dan istrinya masih bisa hidup hingga sekarang.
Saidi memandangi raut wajah Sainah yang masih penasaran dengan jawabannya, “Insha Alloh Bu, saya besok akan ikut ke stadion. Doakan saja banyak orang yang ikut berdemo, tidak ada kerusuhan, dan udara cukup panas. Semoga dagangan kita laris dan habis” akhirnya ia menjawab. Sainah mengamini. Sungguh, mereka adalah contoh orang-orang sederhana yang ternyata lebih peduli ilmu ekonomi dan tak gampang dipolitisasi.

Adelaide, 29 Maret 2012
Menjelang tengah malam setelah menyaksikan berita tentang demo kenaikan BBM di Jakarta

Catatan:
Angkot = angkutan kota;
Kadhung: terlanjur ; Sampean : anda dalam bahasa Jawa ; nrimo: pasrah, gampang menerima (bahasa Jawa)
Atuh, teh : ungkapan yang sering digunakan dalam percakapan oleh orang-orang Sunda (suku di Jawa Barat)

Sabtu, 24 Maret 2012

Hujan Merah Jambu

Lagi-lagi sunyi, semacam inilah malam tertinggal dalam benakku
menyisakan sepotong langit gelap tanpa bintang, dan sepotong bulan malu-malu berselimut awan

Lagi-lagi bimbang, seperti itulah suara dalam hatiku
bersengketa sendiri apakah harus memulai atau menunggu sampai suaramu yang menyapaku terlebih dulu

Lagi-lagi gelisah, sebab penantian tak kunjung usai
seperti tertidur dalam buaian dengan seribu mimpi
tanpa pernah tahu kapan akan terbangun

Tinggal sendiri menghitung waktu, sambil berima menyebut namamu
satu, dua, tiga kali lalu terhenti
saat kudapati hujan turun dengan rinainya yang merah jambu

hatiku jatuh merindu

Adelaide, 24 Maret 2012
sesaat sebelum tengah malam

Minggu, 18 Maret 2012

Hujan Asap dan Tuhan Sembilan Senti

Masih saja prihatin alih-alih merutuki dalam hati manusia yang masih tega mengotori raga yang diciptakan Allah SWT hanya demi tuhan yang lain. Setiap kali mata menangkap hujan asap itu, teringat selalu pada karya sastrawan besar Taufik Ismail..selalu, dan saya cuma sanggup beristighfar dalam hati, karena mungkin tak pernah sanggup menghentikan hujan asap itu seorang diri...

Tuhan Sembilan Senti
karya Taufik Ismail

Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok

Di sawah petani merokok
di pabrik pekerja merokok
di kantor pegawai merokok
di kabinet menteri merokok
di reses parlemen anggota DPR merokok
di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok
hansip-bintara- perwira nongkrong merokok
di perkebunan pemetik buah kopi merokok
di perahu nelayan penjaring ikan merokok
di pabrik petasan pemilik modalnya merokok
di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok.

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi perokok
tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok.
Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok,
di ruang kepala sekolah ada guru merokok,
di kampus mahasiswa merokok,
di ruang kuliah dosen merokok,
di rapat POMG orang tua murid merokok,
di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya apakah ada buku tuntunan cara merokok,

Di angkot Kijang penumpang merokok,
di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk orang bertanding merokok,
di loket penjualan karcis orang merokok,
di kereta api penuh sesak orang festival merokok,
di kapal penyeberangan antar pulau penumpang merokok,
di andong Yogya kusirnya merokok, sampai kabarnya kuda andong minta
diajari pula merokok,

Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa-dewa bagi perokok
tapi tempat cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru
diam-diam menguasai kita

Di pasar orang merokok,
di warung Tegal pengunjung merokok,
di restoran, di toko buku orang merokok,
di kafe di diskotik para pengunjung merokok

Bercakap-cakap kita jarak setengah meter tak tertahankan abab rokok
bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun menderita di kamar tidur
ketika melayani para suami yang bau mulut dan hidungnya mirip asbak rokok

Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul
saling menularkan HIV-AIDS sesamanya, tapi kita tidak ketularan penyakitnya.

Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya mengepulkan asap
rokok di kantor atau di stopan bus, kita ketularan penyakitnya.

Nikotin lebih jahat penularannya ketimbang HIV-AIDS,

Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di dunia
dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu, bisa ketularan kena

Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok,
di apotik yang antri obat merokok,
di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok,
di ruang tunggu dokter pasien merokok,
dan ada juga dokter-dokter merokok,

Istirahat main tenis orang merokok,
di pinggir lapangan voli orang merokok,
menyandang raket badminton orang merokok,
pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok,
panitia pertandingan balap mobil, pertandingan
bulutangkis, turnamen sepakbola mengemis-ngemis mencium kaki sponsor
perusahaan rokok,

Di kamar kecil 12 meter kubik, sambil ‘ek-’ek orang goblok merokok
di dalam lift gedung 15 tingkat dengan tak acuh orang goblok merokok
di ruang sidang ber-AC penuh, dengan cueknya, pakai dasi, orang-orang goblok merokok,

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi orang
perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita,

Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh, duduk sejumlah ulama terhormat
merujuk kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa.
Mereka ulama ahli hisap.
Haasaba, yuhaasibu, hisaaban.
Bukan ahli hisab ilmu falak,
tapi ahli hisap rokok.

Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka terselip berhala-berhala
kecil, sembilan senti panjangnya, putih warnanya, kemana-mana dibawa dengan setia,
satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya,

Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang,
tampak kebanyakan mereka memegang rokok
dengan tangan kanan, cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri.

Inikah gerangan pertanda yang terbanyak kelompok ashabul yamiin dan yang
sedikit golongan ashabus syimaal?

Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC
penuh itu. Mamnu’ut tadkhiin, ya ustadz. Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz.

Kyai, ini ruangan ber-AC penuh.
Haadzihi al ghurfati malii’atun bi mukayyafi al hawwa’i.

Kalau tak tahan, di luar itu sajalah merokok.
Laa taqtuluu anfusakum. Min fadhlik, ya ustadz.

25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging khinzir diharamkan.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?

Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz. Wa yuharrimu
‘alayhimul khabaaith. Mohon ini direnungkan tenang-tenang, karena pada
zaman Rasulullah dahulu, sudah ada alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada
rokok.

Jadi ini PR untuk para ulama.
Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok,
lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan, jangan,

Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini.
Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi
itu, yaitu ujung rokok mereka.

Kini mereka berfikir. Biarkan mereka berfikir.
Asap rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap, dan ada yang
mulai terbatuk-batuk,

Pada saat sajak ini dibacakan malam hari
ini, sejak tadi pagi sudah 120 orang di Indonesia mati karena penyakit rokok.
Korban penyakit rokok lebih dahsyat ketimbang korban kecelakaan
lalu lintas, lebih gawat ketimbang bencana banjir, gempa bumi dan
longsor, cuma setingkat di bawah korban narkoba,

Pada saat sajak ini dibacakan, berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa di negara kita, jutaan jumlahnya, bersembunyi di dalam kantong baju dan celana, dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna, diiklankan dengan indah dan cerdasnya,

Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri,
tidak perlu ruku’ dan sujud untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini,
karena orang akan khusyuk dan fana dalam nikmat lewat upacara menyalakan
api dan sesajen asap tuhan-tuhan ini,

Rabbana, beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.