Sabtu, 30 Juni 2012

Puisi-Puisi Vivi Fajar Anggraeni The Fall


Puisi-Puisi : The Fall


Jauh


Kutinggalkan dia dengan segenggam cinta, untuk dia dan aku jaga
Aku  kan berkelana dalam ruang waktuku sendiri,
dan dia memacu langkah berlari mengejar mimpi yang digantungkannya setinggi bulan

Disini, kerap  kupandangi langit malam dengan rindu
Sambil kurangkai bintang-bintang menjadi bentuk wajahnya
Sembari mengetikkan serangkaian kata lewat tombol-tombol dalam genggaman tanganku
berharap mengalir cerita tentang suka cita cinta berdua

Saat aku tersadar , ruang-ruang makin kosong,
keheningan bergema  di dinding-dinding kamarku
Jarak itu, waktu yang menjadi jeda
Telah menghanyutkan kami berdua ditengah badai yang tak kunjung reda

Adelaide, The end of the fall, 2012


 

Tiga Ratus Enam Puluh Hari


Terlalu naif jika kubilang aku tak terpikat
Pada setiap kata-kata yang berhamburan dari bibir mungilmu
Yang di senja hari masih merona merah muda
Suaramu itu yang menalukan langgam cerita
Kuserap dengan segala daya hingga berjejalan dalam pikiranku yang tak lagi perawan

Lalu kubawa pulang sepotong senyummu yang mengapung diudara
Yang sempat kutangkap sesaat sebelum kita berpisah
Kukira membagi sedikit rindu padamu tak mengapa
Aku masih menyisakan sedikit untuknya, dan
Terima kasih Tuhan, untuk tak membuka rahasia

Aku ingat, ada jarak dan waktu yang menjadi jeda
Meninggalkan ruang hampa bagiku dan dia
Sementara disini kau begitu nyata,
Dalam tiga ratus enam puluh hari kita menapaki setiap jengkal bibir pantai
Di senja yang temaram
Mungkin, kini waktunya kuberi kau kesempatan
Membuka pintu-pintuku

Adelaide, The end of the fall, 2012

Pulang


Bisakah kau tetap disini?
Bisikmu lirih di telingaku
Kutangkap getar disana, ada rindu merambat setengah hati
Waktu telah lama berhenti, memenjarakanku dalam impian yang tak pernah kumiliki

Sudahkah kau putuskan?, tanyamu meninggalkan sendu
Gelisah bersuara dari benakku yang kusut masai
Tanpa rasa , mengalir begitu saja
menghamburkan lirik beku dari cinta yang tersia-sia

Lalu kita terdiam dalam hening yang dingin dan panjang
Memandangi  daun-daun maple berwarna merah marun
berguguran di sapu angin yang datang tanpa diundang
Setitik air bening jatuh dari sudut matamu
Sebab kau tahu aku tak sanggup berjanji

Setidaknya kita pernah meninggalkan jejak
Di sepanjang bibir pantai selepas senja yang temaram
Empat musim sudah lewat, cukup buatku menemukan muara
bagi biduk yang sudah terlau jauh kukayuh

Mungkin  kita bisa kembali lagi suatu waktu nanti
Saat musim semi tiba dan menumbuhkan kembali daun-daun
Sebagai penawar hati yang kutinggalkan kerontang
Setelah kita berdua belajar , betapa mahal harga setia

Adelaide, The end of the fall, 2012

Sabtu, 16 Juni 2012

What's on Adelaide:..Ah, Jangan Abaikan Insting Pertama..;)

gambar diunduh dari : http://upload.wikimedia.org/


NO THROUGH ROAD!!. Hah???, Jalan buntu? beneran nih, pikir saya sambil  mengecek kembali aplikasi navigasi di layar ponsel. Kemarin sore, saat hendak menghadiri undangan pengajian di kediaman salah seorang teman, saya sempat dibingungkan dengan tulisan besar-besar yang terpampang tepat di muka jalan masuk yang seharusnya merupakan akses menuju rumah teman saya ini. Berempat dengan anak-anak yang ribut mengoceh macam-macam di bangku belakang (suami sedang absen menemani karena sedang mengikuti ujian akhir semester), kami akhirnya urung memasuki jalan tersebut. Padahal, sebelum berangkat, saya sudah bolak balik mengecek alamat dan mencocokkan posisinya via navigasi dan aplikasi GPS , dan hampir yakin kalau akses terdekat dan termudah untuk sampai di rumah teman saya adalah melalui jalan ini. Namun, papan besar bertulisan "jalan buntu" itu mengaburkan keyakinan saya. 

Jadilah kami coba-coba mencari jalan masuk lainnya.  Tak disangka, saat kami mencoba akses lain sesuai petunjuk GPS pun, kami disesatkan oleh papan bertanda "NO THROUGH ROAD". Ya ampuun, kok bisa ya?. Teliti punya teliti, posisi rumah yang kami cari berada di seberang rel kereta api, nah disini jalan-jalan yang berbatasan dengan rel kereta api di buat buntu, sehingga tak seenaknya orang bisa menyeberang rel, kecuali di bagian jalan yang memang diberi akses untuk itu. Jadi jika peta menunjukkan akses masuk menuju rumah teman tadi dari jalan yang pertama kami temui, ya seharusnya memang itu jalannya..;p. Whewww...gara-gara mengabaikan insting pertama, jadilah kami musti berputar-putar tak ketentuan arahnya..:D.

 Sebenarnya mencari alamat di Adelaide terhitung mudah, karena semua jalan bertanda, dan nomor-nomor rumah berurutan masing-masing genap dan ganjil untuk setiap sisi jalan. Jadi, jika di sisi kanan jalan bernomor genap, maka nomor ganjilnya berada di seberang jalan. Enaknya lagi, jalanan disini dibuat lebar-lebar dan jelas rambu-rambunya, jadi jika sesekali kita salah jalan, mau memutar kendaraan, misalnya, bukan masalah yang merepotkan (ah, jadi terbayang saat mencari rumah sahabat saya di kawasan Cempaka Putih, yang gang nya sempit-sempit, sehingga jika membawa kendaraan roda empat bakalan susah bergerak karena lebarnya jalan hanya cukup untuk badan satu mobil saja..:P). 

Lain urusannya jika yang "bermasalah" adalah sang pengendara, alias sang supir. Saya bukan termasuk pengendara yang piawai. Walaupun sudah terbiasa menyetir mobil sendiri, sampai sekarang masih saja punya masalah dengan arah dan menghafal nama jalan, halahhh..:D. Benar- benar merepotkan, terima kasih lah pokoknya pada aplikasi GPS atau navigasi di ponsel dan navigator setia saya, si sulung yang lebih jago mencari jalan. Yang saya andalkan sejauh ini saat harus mencari alamat semata hanya "insting". Jadi setelah mengecek si alamat di peta, setelahnya pencarian saya akan bergantung pada perasaan saja, kapan berbelok, kapan lurus dan sebagainya, soalnya urusan membaca peta saja kadang masih bikin saya bingung :D. 

Sampai sekarang, pencarian alamat via perasaan masih jadi andalan, dan 90 persen berhasil buat saya sendiri (please, jangan di coba yaa..). Sekali-kali, pernah juga saya mencoba mengabaikan perasaan saya, dan mencoba cara lain atau patuh taat pada peta, atau navigator yang kebetulan bersama saya, hasilnya sih kebanyakan berbuah "nyasar"..hehe. Termasuk kisah kemarin sore itu. Jadi sampai  sekarang, pakem saya tetap sama saja, "jangan sekali-kali mengabaikan insting pertama"..:D. Saat akhirnya kami tiba di tujuan, teman saya yang mendengar cerita kami malah tersenyum-senyum sambil meledek, "jalan buntu kan buan berarti gak boleh masuk jeng", hihi, iya juga ya, bukan tanda "verboden" juga tuh yang kami lihat. Karena sedikit paranoid saja yang membuat kami menghindari jalan masuk tadi, kan biasanya kalau jalan ditandai "buntu"  aksesnya terbatas untuk yang tinggal di situ saja, jadi bisa dibilang setengah verboden juga.Maklumlah bukan di rumah sendiri, khawatir satu rambu yang sama, implikasinya bisa berbeda disini. Yang jelas, pengalaman sore itu makin mendukung teori pencarian arah saya,  pakem saya tetap sama saja, "jangan sekali-kali mengabaikan insting pertama".. Huh, ngeyel..:D.