Kamis, 06 Februari 2014

Refleksi : Logika (bukan) Dewa

Saya suka berhitung. Untung rugi, kuat lemah, menang kalah. Ditimbang-timbang kiri dan kanan, lama dipendam, diperam, meskipun kadang akhirnya belum tentu menyenangkan.



picture credit : http://2.bp.blogspot.com/
Saya juga suka berdalih, yang masuk akal itu lebih baik dari yang absurd. meski sebenarnya saya sendiri susah payah memisahkan mana yang rasional, mana yang cuma khayal.

Hanya yang masuk akal saja yang lalu saya ikuti, selebihnya saya nafikan. Cuma bikin capek, gak jelas ujung pangkalnya.

Sayangnya,
Saya seringkali lupa, bahwa logika saya itu terbatas semata. Batasannya banyak berlapis-lapis tak habis habis. Jatuhnya, saya jadi suka memaklumi diri sendiri.
Harap maklum Saudara Saudari, ya itu yang bisa saya pahami. Jadi cuma itu yang akan saya yakini, yang lainnya saya gak peduli.

Logika itu jadinya gak jauh dari keras kepala, keras hati tak mau kalah. Kalau sudah begitu, tak ada yang lebih dekat hasilnya selain mengundang musuh baru saja.

besok-besok saya mau lego itu logika, tukar tambah dengan yang baru :p, biar bisa ajar diri sendiri supaya tahu diri..

Rabu, 05 Februari 2014

Refleksi : Renovasi Dinding

Barusan melintasi dinding-dinding yang berjajar-jajar di sepanjang jalan yang saya lewati. Mungkin sudah bertahun-tahun disana, tapi saya kurang memerhatikan, apatah lagi mencoba mengelus permukaannya. Sebagian masih terang dan bersih warna catnya, sebagian lagi mulai pudar, bahkan menghitam disana sini. Tertutup debu dan sisa-sisa asap knalpot kendaraan yang tak pernah berhenti berlalu lalang.

Barusan saja, akhirnya sebagian sempat saya dekati, saya sentuhkan ujung jari jemari saya disana. Oh, kaget juga  rasanya, sebab baru saya tahu, permukaan dinding-dinding itu tak semulus kelihatannya. Banyak lubang di sana sini. Ada yang bahkan amat banyak cacatnya, sebagian pelapisnya meluruh, saat saya sentuh.
picture credit: http://www.hello-world.com/
Barusan saja, saya jadi berpikir-pikir, kenapa lubang-lubang dan cacat kusam itu bisa hadir disepanjang dinding yang biasa saya lewati selama ini. 

Lalu seperti dejavu, saya lihat sosok bayangan melintasinya dengan sebentuk benda runcing nan ramping serupa paku terselip diantara jari jemarinya. Sesekali menusukkannya ke permukaan mulus dinding bercat halus. Sebentuk lubang pun menghiasinya kini. Berulang-ulang, bagai jalinan gambar dalam film yang sedang diputar, sosok itu, yang ternyata bayangan saya sendiri, berkali-kali melintas dan berkali-kali pula menorehkan luka-luka di permukaan dinding.

Barusan saja, saya kecewa, Sebab, akhirnya saya sendiri yang menemukan, betapa buruk jadinya dinding-dinding yang tadinya berwarna cerah meriah, saat ia dihiasi taburan lubang akibat paku yang saya hujamkan berkali-kali dipermukaannya.

Barusan saja, saya jadi terpikir, betapa sulitnya kini, membuatnya mulus kembali. 

Jika saja dinding-dinding itu ibarat hati mereka yang pernah saya temui, betapa sengsaranya saya kini. Sebab,yang namanya membilas hati, tak pernah bisa sesederhana renovasi cat dinding.