Minggu, 26 Februari 2012

Makan Apa Kita Hari Ini?..:)


Hal pertama yang mengusik saya saat memutuskan untuk mendampingi suami tinggal di negeri kanguru adalah seberapa bisa kami beradaptasi dengan pola makan baru. Yang terbayang oleh saya saat itu, kami sekeluarga akan sulit menemukan makanan yang biasa kami konsumsi di tanah air. Namun, mendengar cerita suami yang terlebih dahulu berangkat sepertinya pola konsumsi kami akan tidak terlalu jauh berbeda. Dia bercerita pada saya dan anak-anak bahwa di Adelaide, kota dimana kami akan tinggal akan banyak ditemui toko yang menjual makanan halal dan produk -produk impor asal Asia bahkan juga dari Indonesia.

Diminggu-minggu awal, suami mengajak saya ke tempat-tempat berbelanja kebutuhan sehari-hari yang "layak" untuk dikonsumsi. Layak bagi kami tentu saja :).Sebagai muslim, tinggal di negeri dimana komunitas muslim termasuk minoritas sungguh harus dijalani dengan kehati-hatian. Jadilah pekan orientasi saya mengunjungi pasar sentral (central market) Adelaide. Didalamnya saya diberi tahu tempat membeli daging hewan yang telah tersertifikasi "halal" . Di Adelaide pihak yang memiliki otoritas memberikan sertifikasi halal pada produk makanan tertentu (red meat misalnya)  antara lain adalah Adelaide Mosque Islamic Society of South Australia.

Di pasar Adelaide, setiap penjual daging yang menjual produk halal akan menunjukkan sertifikat halal tersebut. Hal ini untuk meyakinkan pembeli agar tak ragu-ragu membeli, mengingat di toko lainnya mungkin saja selain menjual daging ayam/sapi/kambing juga menjual daging babi dan produk turunannya yang sudah tentu tidak dapat dikonsumsi oleh pembeli muslim. Bagi saya sebagai pembeli, adanya sertifikasi semacam ini sangat membantu dalam menjaga kehati-hatian untuk menyediakan makanan yang halal dan baik ditengah-tengah keluarga. Pasal kehati-hatian ini tidak hanya kami terapkan untuk membeli daging hewan saja tetapi juga dalam memilih produk makanan lain, semisal bumbu-bumbu, jajanan/makanan kecil seperti roti, agar-agar, makanan instan dan produk turunan hewani semisal keju dan gelatin.

Selain pasar sentral, di Adelaide terdapat beberapa toko yang menjual barang-barang kebutuhan warga Asia (Asian Grocery), kebutuhan warga Afrika, ataupun warga India. Kami terbiasa berbelanja di Asian Grocery karena ternyata cukup lumayan memenuhi kebutuhan kami sedemikian sehingga tidak terlalu berat rasanya mempertahankan pola konsumsi makanan seperti di tanah air. Di toko ini kami mendapati sayur mayur yang umum di Indonesia seperti kol, kangkung, bayam, tauge, labu air, terong bulat, pare, dan bahkan daun kemangi ^^. Ada pula bahan dasar lainnya semisal tahu, tempe, kulit pangsit, mi basah, bakso ikan/seafood, bakso daging dan bumbu-bumbu lengkap mulai dari jahe, lengkuas, kencur, jinten, pala daun pandan, daun salam, dan terasi. Selain itu bisa juga diperoleh berbagai macam kerupuk mulai kerupuk udang, kerupuk ikan ala Palembang, kerupuk warna-warni seperti yang biasa jadi teman makan nasi uduk Betawi, kerupuk kulit sampai kerupuk singkong, yang lebih  asik lagi, saya bahkan bisa menemukan ikan asin dan petai plus daun pisang..^^..wah pokoknya tidak terlalu berbeda dengan barang-barang yang biasa saya temui di pasar tradisional Indonesia. Hanya saja harganya bisa berpuluh kali lipat dibanding harga di Indonesia. Sebungkus tahu putih ukuran 400 gram yang biasa saya dapatkan seharga empat ribu rupiah, di sini dihargai AUD $4 atau dengan kurs sekarang kurang lebih bernilai sekitar tiga puluh enam ribu rupiah..whewww...maka tahu bukanlah menu makan kami sehari-hari ^^. Kebanyakan bahan makanan ini diimpor oleh pedagang besar di Adelaide dari Vietnam, Thailand tetapi kebanyakan dari Malaysia. Produk made in Indonesia agak jarang disini. Mungkin karena penduduk Asia terbesar yang tinggal di Adelaide justru berasal dari Malaysia jadilah produk Malaysia lebih populer. Produk Indonesia yang sering kami jadikan obat kangen adalah Teh Botol Sosro atau Teh Kotak selain Nutrijel untuk anak-anak, selebihnya tentu saja Indomie. yang merupakan merk mi instan yang populer di Adelaide..sampai-sampai di salah satu edisi majalah kampus University of Adelaide mi goreng produksi PT Indofood ini menjadi makanan "wajib" mahasiswa bujangan..:D. Mengingat membanjirnya produk Malaysia disini, sering kami berkelakar, kalau saja mi instan favorite itu tak bermerk yang menggunakan kata "Indo", tentu sudah diklaim pula menjadi produk negeri jiran ini..;p.

Kembali ke soal kehati-hatian, di jaringan ritel lokal kami bisa juga menemukan produk berlabel halal. Hanya saja  semenjak tinggal disini, untuk berbelanja memang jadi perlu tambahan waktu. Apa lagi kalau bukan untuk meneliti erlebih dahulu adakah label halal di produk yang akan kami beli. Sekali dua pernah juga saya terjebak oleh merk tertentu dari makanan instan yang berbau Asia, ternyata setelah diteliti komposisinya, makanan tersebut mengandung bacon. Semenjak itu ketelitian membaca label halal dan komposisi bahan dasar produk menjadi "wajib" hukumnya bagi saya dan keluarga.

Ngomong-ngomong soal jajanan halal, disini tentu tak banyak tempat makan yang menyediakan makanan halal. Kalau bukan restoran Malaysia, kami bisa mendapatkannya dari restoran Timur Tengah. Cuma namanya soal selera, sering kali rasa yang kami dapat tak sesuai harapan. Alih-alih ingin menikmati ayam bakar lezat ala Ayam Bakar Klaten yang diperoleh rasa ayam bakar kekurangan bumbu..:D..ah, kangeeennn banget ayam bakar di gerbang komplek perumahan saya atau versi jajanan kaki lima di samping Blok M Plaza atau sepanjang jalan Kali Malang. Belum lagi untuk jajanan semisal mi ayam, pempek, batagor, dimsum, dan jajanan khas Indonesia lainnya, jangan harap bisa bertemu kalau bukan di acara khusus Indonesian Community. Belum lagi restiran fast food yang di Adelaide sini tak satu pun yang berlabel "halal". Ini Adelaide teman, buan Melbourne atau Sydney..disana sudah banyak restoran yang menunya Indonesia banget..^^..atau restoran fast food yang bersertifikasi halal.

Jadilah, selain untuk menjaga kehalalan makanan yang kami konsumsi, saya terpaksa belajar cepat cara menyajikan menu-menu ala Indonesia yang kerap dikangeni suami dan anak-anak. Saya dipaksa untuk bisa membuat sayur bening sampai dengan soto ayam Lamongan..membuat nasi uduk Kebon Kacang sampai dengan Sate Ayam, Mi Jawa atau Lontong Mi ala Surabaya dan jajanan lainnya yang masih harus saya pelajari satu per satu. Seru..^^..Petualangan saya di dapur pun dimulai ^^..






Sabtu, 11 Februari 2012

Julia, Sekaleng Kopi dan Rindu

Kumasukkan dua keping koin dua dollar-an ke lubang yang tersedia untuk koin di vending machine. Kutekan angka 3 untuk iced coffee, dalam hitungan detik sekaleng minuman kudapat. Belum lagi aku berlalu, suara lembut yang kukenal terdengar menyapaku, "morning Sangkan". Sewaktu kumenoleh, kudapati wajah ceria Julia, gadis berperawakan jangkung itu. Rambut pirangnya diikat ekor kuda dengan sisa-sisa rambut yang tak terikat melambai-lambai dimainkan angin di pagi yang hangat. Matanya membulat melihat kopi kalengan di tanganku, "gee..iced coffee in the morning ?..you must be desperate..you didn't have enough sleep last night ha?" katanya ceriwis. Melihatku hanya mengangkat bahu tanpa ragu digandengnya lenganku, "oh, come on we have to come earlier this time, Mark will not let us attend his course if we're late today". Setengah menyeretku ia berjalan menuju ruang kuliah. Susah payah kulepaskan lenganku yang digandengnya, beberapa kawan yang berpapasan dengan kami melempar senyum penuh arti. Aku pasti terlihat seperti anak nakal yang diseret paksa ibunya memasuki ruang kelas di hari pertama sekolah, namun Julia sepertinya tak peduli, selalu begitu sejak kali pertama aku mengenalnya, dia selalu penuh semangat saat bertemu denganku, menarik tanganku kesana kemari bahkan tidak satu dua kali hampir saja dia mendaratkan ciuman di pipiku saat bertemu, kalau saja aku tak gesit menghindar, ciuman itu takkan terelakan.

Julia yang antusias, kadang membuatku jengah dan mati gaya saat berada didekatnya. Spontanitasnya seringkali membuatku risih. Sebagai orang yang masih peduli pada budaya ketimuran dan berusaha keras berpegang pada nilai-nilai agama yang kupercayai, menghadapi tata cara pergaulan disini membuatku lebih berhati-hati. Sulit untuk tidak menghindar saat harus berjabat tangan dengan perempuan, misalnya. Dilain waktu aku harus selalu siap dengan beragam alasan saat harus menolak tawaran minum minuman beralkohol atau makanan yang tidak dapat kumakan karena alasan adanya larangan berdasarkan kepercayaanku. Orang-orang disini sangat peduli pada alasan yang masuk akal. Mereka akan banyak bertanya mengapa hal-hal tertentu sangatlah kuhindari. Tadinya aku merasa berbagai tantangan berdiskusi  akan lebih sering membuatku kerepotan. Ternyata aku salah, justru spontanitas perilaku seperti yang ditunjukkan Julia lah yang lebih membuatku sengsara.

Julia cuma tersenyum saja setiap kali aku menegurnya karena kebiasaannya menggandeng tanganku atau  kebiasaannya yang lain, menungguku di ruang musholla saat menjalankan sholat dhuhur atau ashar di kampus, masalahnya ia kerap menungguku di ruang sholat khusus untuk lelaki, bukan di ruang khusus wanita. Saat kutegur, ia tenang-tenang saja, alasannya, kalau ia menunggu di ruang lain, ia tak akan tahu kapan aku selesai melaksanakan ibadahku. Minta ampun sulitnya memberitahu Julia hal-hal semacam itu.


Diluar "keantikan" nya, berteman dengan Julia sesungguhnya menyenangkan.  Ia tipikal perempuan cerdas yang punya karakter. Bukan cuma cantik secara fisik, dikepalanya penuh dengan ide-ide cemerlang seputar bidang yang ia geluti, minatnya terhadap seni menarik perhatianku, sikapnya luwes saat berhadapan dengan hal-hal baru yang belum ia ketahui dan ia selalu peduli pada orang lain dengan cara positif, penuh perhatian dan tampaknya selalu suka menawarkan bantuan, apapun itu. Rasanya sah-sah saja jika aku merasa dia menaruh perhatian khusus padaku, tapi kok rasanya berlebihan juga. Apa yang dilihatnya dari mahasiswa imigran yang harus setengah mati pontang panting belajar sekedar untuk lulus dan musti banting tulang untuk bertahan hidup di negeri orang . Mestinya dia cuma jatuh kasihan atau merasa wajib mendukung teman dengan nasib kurang beruntung dibanding teman lainnya sesama penduduk asli negeri kanguru. 

---
"Cold beer?" Julia mengangsurkan sekaleng bir dingin kearahku. Spontan aku menggeleng, "no thanks" . Kulihat kerut di dahinya,bibirnya mngerucut seperti biasa saat dia mulai memikirkan sesuatu, "i don't think beer will kill you, Sangkan, why don't you try a little bit..Kris, Jana don't mind to try it, they're also Asian, you know" dia mengajukan argumen kali ini, sambil menunjuk ke arah dua temanku disudut lain ruang rekreasi, Kris dan Jana sedang menghisap rokok dan menikmati bir kalengan mereka sambil mengobrol, kali ini Julia berkeras mungkin karena bosan pada penolakanku yang menurutnya sering tanpa alasan selain jawaban pendek, tidak, terima kasih.
Untuk kesekian kalinya kukatakan, "ya, but i’m totally alcohol free"
"So, iced coffee ha? your drink.." lanjutnya sambil meneguk bir dari kalengnya dan menyerahkn sekaleng kopi dingin padaku. "I just wonder, why don't you wanna try this product, it’s legal" suaranya nyaris menyerupai gerundelan tak jelas. 
Jawabanku tampaknya akan jadi diskusi panjang. Aku sendiri tak keberatan menjelaskan, tapi aku tak yakin Julia mau mendengarkan jawaban panjang semacam itu. Perempuan satu ini terkenal praktis, dan sering tanpa tedeng aling-aling, selalu siap sedia dengan argumen yang mematikan jika tidak setuju pada sesuatau hal, khas Australian. "You're moslem, too much law to be obeyed" katanya sambil mengangkat bahu. Aku tertawa kecil, "then why you care , ha?", "I don't know, but it's you , i think because it's you" sahutnya, mata birunya memandangiku lekat-lekat, jemari lentiknya kurasa hampir membelai pipiku, kalau saja aku tak bergeser membuat jarak dengannya, selalu saja ia membuatku jengah.

---

"Can you stay for a while" Julia memohon padaku, manja. Sudah pukul setengah dua belas malam, dan niatku tadi hanya mengantarnya sampai di depan apartemennya saja, sekedar memastikan dia pulang dengan selamat. Aku menggeleng tegas, kulihat matanya memaksa. Aku menunjuk Kris yang menunggu dalam mobil. "He can go home by himself" Julia berkata sedikit merajuk. "Ya, and you already home and save, nothing become my business anymore young lady" kupaksakan tersenyum, meski ingin rasanya segera berlalu dari sana.
 "See you tomorrow, Julia" kulambaikan tangan mengucap selamat malam dan berlalu tanpa menoleh lagi. Seperti inilah godaan, aku menyukainya, tapi tak ingin terjebak menikmatinya.
---
"What's wrong with you, Julia is pretty hot, doesn't she" Allan, mahasiswa senior asal New Zealand, yang juga salah satu mentorku dan seringkali terlibat dalam diskusi-diskusi akademik bersamaku dan Julia menyindirku suatu kali. "You're not gay are you" nada suaranya penuh canda, tapi kulihat matanya menyelidik. Aku cuma tertawa, yang benar saja. "She wants you, you know, or you just too fool to see the sign" sambarnya, kali ini terdengar tulus, opini seorang teman. Aku tak ingin salah berkomentar. Rasanya tak etis membicarakan Julia saat dia tak ada, sekalipun percakapan ini memang obrolan wajar khusus kaum lelaki. Paling tidak aku jadi mengetahui begitu kira-kira pendapat orang lain saat melihatku dan Julia. Aku kelihatan sebagai lelaki "polos atau bisa juga sebagai orang yang jual mahal namun dari semua, dugaan aku sebagai gay lah yang paling mengganggu.

---

Sindrom warga minoritas, ketika saat kau hanya ingin tetap setia pada keyakinanmu, selalu saja ada yang membuatmu berpikir ulang, apakah dengan setia pada apa yang kaupercayai tidak akan menghambat laju hidupmu, kesempatanmu berkembang dan potensi kehilangan kesempatan yang lebih besar.
  
Seringkali ini menjadi dilema dan menghantarmu menjadi pribadi yang sama sekali berbeda dengan dirimu sebenarnya. Dengan dalih ingin berbaur, ingin diterima, toleransi dan seabrek alasan lainnya, sering "terpaksa" diri mengorbankan nilai-nilai yang seharusnya dijaga. Aku cuma manusia, sedikit saja lengah aku bisa berubah. Aku cuma tak ingin itu terjadi di saat-saat ini. Di saat aku sedang berjuang mewujudkan harapan dan cita-cita yang telah kupupuk sekian lama. Apa jadinya jika hanya karena budaya rela kugadaikan keyakinan dan harga diri? Pulang memenangka gelar duniawi tapi nurani terkikis dan mati suri. Astaghfirullah, semoga tak terjadi.


Suara adzan dari laptop membuyarkan lamunanku, maghrib datang, penuh sesak rasa di dadaku . Rasanya siap kutumpahkan semua dalam sujud panjang diatas sajadahku, sendiri. Wujud ragaku memang hanya sendiri tapi tidak dengan jiwaku. Jiwaku tak pernah sendiri, ia selalu berkawan, berkawan Dia yang selalu dekat, Dia yang pencemburu, Dia yang jauh lebih perhatian padaku melebihi seribu Julia. Dia yang selalu membuatku jatuh merindu lagi, dan lagi  karena aku percaya Dia tak kan pernah lengah menjagaku.

Adelaide , 11 Februari 2012
Selepas maghrib